Kamis, 03 November 2011

3 Penyakit Pesantren



Sebagai seorang santri yang baru tinggal melewati satu tahun di asrama, mungkin terlalu cepat untuk menyimpulkan hal -hal tentang pesantren, tapi karena sudah kebelet pengen nulis dan janji saya di cerita sebelumnya,  maka saya  tulis mengenai penyakit-penyakit umum  dipesantren (menurut saya) yang dirangkum menjadi 3 yang diurut dari yang paling ringan sampai yang paling parah, yaitu:
  1. Penyakit Kulit
Kamar yang apek dan kamar mandi yang jorok tentu akan menguarkan aroma yang mengundang para bibit penyakit ga tau diri untuk datang dengan sendirinya, yang kamar mandi itu nantinya bakal dipakai buat nyuci, mandi dan bersih-bersih. Niatnya mau mandi malah kana penyakit kulit.  Memang susah dimengerti dimana agama mengatakan bahwa kebersihan sebagaian dari iman, tetapi para kader mubaligh (pendakwah) sendiri tak bisa melaksanakan apa yang sudah dikoar-koarkan oleh para ustad, ataupun para kyai. Saya mah percaya saja kalau yang mbudeng itu santri-santri yang jarang mandi (sampai dakinya masuk telinga) yang merasa bahwa kitab-kitab yang mereka bawa itu cuma buat dibaca, dihapal doang tanpa merasa itu ilmu musti diamalkan, malah mungkin mereka pikir mereka tak butuh ilmu yang sudah disediakan oleh para ustad.
 Penyakit kulit ini, walau cuma gatel-gatel doang tidak bisa dianggap remeh, karena pasti bakal menyebar dengan cepat, menilik kehidupan santri yang selalu bersama dengan temannya dan kebiasaan meminjamkan barang, bahkan ada yang bilang bahwa tidak bisa disebut seorang santri jika belum kena kudisan. Penyakit ini bukan hanya ada di pesantren-pesantren lama, tapi di pesantren baru juga. Contohnya,  tempat dimana saya belajar sekarang yang masih berumur jagung sudah pernah terjadi wabah scabies (kalau pengen tahu tanya mbah google) dan alhamdulillah berhasil dimusnahkan berkat piket asarama yang lebih intensif dan penyuluhan tentang pentingnya mandi dan menguras air bak (dua ini yang jadi sumber scabies)
  1. Ghosob
Mungkin bagi sebagian santri nama ini sudah tak asing lagi. Ghosob adalah meminjam   barang orang lain tanpa izin. Ini kelakuan barang lama yang rata-rata menjadi cap bagi pesantren-pesantren, baik modern, klasik, baru ataupun lama. Sulit dilakukan penanganan khusus untuk penyakit yang satu ini, karena yang dibutuhkan adalah keberanian untuk jujur dan selalu merasa dilihat Allah SWT. Tentunya hal ini tidak bisa dipaksakan kepada setiap individu, dan yang bisa dilakukan hanyalah pengarahan dan pembiasaan.
Saya pribadi sudah kehilangan lebih dari lima pasang sendal dan sebelah sepatu (jadi yang sebelahnya lagi hanya bisa nongkrong di loker sepatu). Belum lagi sergam yang hilang. Dan barang yang balik pun biasanya kembali dengan keadaan yang memprihatinkan. Bahkan ustad-ustadnya pun pernah dighosob sendalnya. Parah memang. Mengapa penyakit moral ini ada diatas penyakit kulit? Saya yakin ga perlu dijelaskan karena insyaallah yang baca udah pada pinter.

  1. Homo
Saya sendiri awalnya sedikit ragu-ragu menulis tentang hal yang cukup tabu ini. Tapi memang inilah yang pasti penah terjadi disebuah pesantren, bahkan di sebuah pesantren baru seperti tempat yang sekolah sekarang. Penyakit ini mungkin ada karena iman yang sangat tipis dan pengolahan emosi yang tidak dewasa.  Di pesantren saya pernah ada seorang santri baru yang punya segudang perilaku buruk. Setelah agak lama, ketahuan tuh anak memang homo. Mengapa bisa tahu kalau anak ini homo? Karena dia NGAKU DIDEPAN USTAD DAN ORANG SEANGKATAN BAHWA DIA HOMO. Bagai duri dalam daging, ditahun kedua dia dibuang.
Dah, saya gak bisa nulis lebih banyak lagi tentang hal ini, karena memang pada dasarnya saya tidak homo. Sorry kalau ga puas bacanya, yang saya tulis hanyalah apa-apa yang terjadi disekitar saya dan yang saya pikirkan. Insyaallah ga ada yang dilebih-lebihkan.
Wassalamu’alaikum wr.wb

Kamis, 13 Oktober 2011

Aku dan Sekolahku



Sip, perkenalkan, nama saya Rifki, boleh juga di panggil Deksan. Terserahlah mau manggil apa, asal jangan A**ing atau sebangsanya. Menghadapi seluruh hidup dengan rambut tipis setengah senti, sekarang lagi belajar disebuah sekolah nan sepi di atas air terjun. Sekolahnya lumayan gede plus ada asramanya. Menjalani rutinitas sehari-hari tak lebih dari kompleks asrama. Mungkin bagi beberapa orang nyebut tempat ini pesantren, tapi bagi orang yang udah mulai modern dan males dianggap kampungan, bakal nyebut ini sekolah ‘Boarding School ‘. Apa bedanya Boarding School sama Pesantren? Saya juga ga tau, bisa sekolah juga udah alhamdulillah.
Sekolah yang saya tempati baru berdiri setahun. Masih baru, seumur jangung. Lumayan bagus dengan rencana fasilitas diatas rata-rata. Masih sebagai rencana sih, tapi lumayanlah, bisa sekolah. Bagi sebagian orang mungkin masuk sekolah ini adalah suat prestise, suatu kemewahan,  bagi saya sekolah ini hanyalah sebuah sekolah yang masih harus banyak belajar. Saya sekolah disini sebagai angkatan pertama (karena sekolahnya baru berdiri setahun). Di tahun kedua ini (berarti udah 2 tahun ya) telah ada 2 komplek berbeda, satu buat tholib dan satu buat tholibah  (Disini santri/siswa disebut Tholib, dan santriwati/siswi dipanggil Tholibah).
Jika masuk ke kompleks tholib, di depan gerbang ada 2 gedung sekolah yang saling berhadapan. Kedua gedung ini dibatasi oleh lapangan basket dan lapangan voli  yang diantara kedua lapangan itu ada air mancur mini. Gedung yang satu ada di sebelah barat, dan yang satu disebelah timur. Dibelakang gedung timur, terdapat  taman dan 6 buah asrama. Tamannya di sebelah utara dan asrama-asramanya disebelah selatan. Ditaman ada 2 buah saung, gudang, dan gerbang yang berada di sebelah utara taman yang mengahadap ke lembah bougenville. Jika dilihat dari jendela toilet  gedung timur, berjajar  4 asrama. Asrama 1 dan 2 yang saling berhadapan dan asrama 3 dan 4 yang saling berhadapan juga.  lebih kebelakang, ada 2 asrama (asrama 5 dan 6) yang berada disebelah resto. Resto adalah panggilan kami untuk tempat makan sehari-hari. Dikomplek thlib ada 4 gerbang. Satu ditaman, satu belakan resto, satu dibelakang asrama 3&4, dan satu lagi gerbang utama, yang berada disebelah gedung timur dan barat.
Untuk masjid dan tempat parkirnya, tepat berada disebelah utara kompleks tholib, yang jika berjalan lebih jauh keutara, akan nyampe ketempat outbond. Biasanya latihan pramuka di lapangan parkir sebelah masjid, biar lebih enak kalau mau ke outbond.  Outbondnya lumayan luas, kalu mau tahu seperti apa tempatnya, silahkan datang. Gratis insyaallah.      
Nah, komplek tolibahnya berada di sebelah barat kompleks tholib. Cuman ada satu gerbang utama yang didalamnya Cuma ada 1 gedug sekolah dan 4 gedung asrama yang berjajar. Makanya kalau mau praktik, baik seni, olah raga, ataupun pelajaran eksak, mereka ke komplek tholib.
 Disini  Guru-guru dipanggil ustad-ustadzah , yang tinggal dirumah-rumah sekitar komplek pesantren. Ada juga yang tinggal di asrama. Ada yang gabung ke asrama anak-anak atau menempati asrama khusus untuk guru (asrama 4) . untuk karyawan, biasanya direkrut dari orang-orangs ekitar. Untuk yang dari tempat jauh, semisal dari lembang, biasanya tinggal dibelakan resto (ada kamar-kamarnya)
 Ditahun pertama kami (Thalib dan Thalibah) tinggal dalam satu komplek pesantren. Lumayan deketlah, antar asrama hanya dihalangin jalan doang. Menurut saya sih tholibahnya sedikit dibawah rata-rata, mukanya  jelek (ga semua sih) dan kadang terlalu  ‘welcome’ ke tholib. Walau rata-rata tholibahnya seperti itu,  jangan berani (walau sekali)ngobrol bareng, apalagi sampai nyelonong masuk ke asrama Thalibah, karena kamera cctv udah nongkrong dimana-mana. Sekali kena, walau lirik—lirikan  juga bahaya. Ustad udah nunggu sambil melototin. Walau begitu, tetap saja banyak yang masih lirik-lirikaan, ngobrol tanpa hijab juga masih ada, surat-suratan jalan terus, bahkan pacaran itu katanya ga apa-apa. Tapi karena yang ‘ga apa-apa’ itu, lahir banyak masalah besar . Ustad teriak-teriak dimimbar masjid, dikumpulin di lapangan sambil dibacain ‘Surat Cinta’ yang Cuma bikin mual, sampai dipanggil keruang BINSAN (semacam pengurus kepesantrenan). Tapi demi cinta yang makin lama makin ga jelas, masih ada para pejuang yang memperjuangkan sesuatu yang udah ‘ jelas ga jelasnya’ dibawah bayang-bayang tinta merah dan blacklist ustad.
Saat saya masih kelas tujuh (sekarang kelas delapan), karena saya percaya bahwa pesantren adalah tempat yang benar-benar suci,  saya termasuk orang yang lumayan anti tolibah.  Bukan karena saya homo. Bukan, gini-gini saya normal, tapi saya kurang suka tholibah karena akhlaknya lebih mirip cewek biasa (sekali lagi rata-rata) dibanding muslimah. Simpel kan? Karena dalam benak saya, yang namanya perempuan itu (walau tomboy) menjaga hijab dengan laki-laki dengan amat sangat, bukan malah mampang-mampang depan tholib sambil teriak-teriak ga jelas (sekali lagi gak semua). Mudah-mudahan di tahun kedua ini tholibah-tholibah yang sekarang udah punya komplek asrama dan sekolah sendiri  insyaf dan makin memperlihatkan keperempuanannya, apalagi sekarang sudah ada keputrian/tata boga.  Sukses untuk ukhti semua!
 Dan yang terakhir, saya ingin membahas tentang masalah yang suda lama menggantung di kepala saya. Melihat orang tua dan anak yang sering kali bertikai karena si anak dipaksa masuk pesantren, saya jadi sering bingung sendiri. Ini keluarga bukan ya?  Sekolah dimanapun, baik pesantren, swasta, atau negri punya kelebihan dan kekurangan masing-masing . Karena memang pada dasarnya buatan manusia tidak ada yang sempurna. Begitu pula pesantren. Ada juga bolong-bolongnya. Karena itu saya kurang suka melihat orang tua yang begitu memaksa anaknya untuk masuk pesantren, hanya karena menganggap pesantren itu suci,( hal ini saya akan bahas di artikel selanjutnya, insyaallah) dan juga anak-anak yang tetap keras kepala menganggap pesantren itu hanya tempat kuno bacotan para kiai.
 Sebaiknya sih kalau milih sekolah ibu atau bapaknya mendiskusikan secara baik-baik dengan si anak, dan si anak juga menghargai dan menerima  akan pendapat  orang tua yang sudah lebih lama hidup di dunia. Jangan ada yang masa bodoh, seolah saling menghormati, padahal dongkol dihati, karena sekolah adalah hal fital yang akan mempengaruhi kehidupan si anak kelak. Jangan sampai masa depan sianak ludes gara – gara ini masalah. Contohnya, ada dukun yang lulusan sebuah pesantren, padahal udah nyantren cukup lama. Bukan salah sekolahnya mendidik, tapi pribadi si anak yang memang ga sesuai dengan kultur, yang berakhir dengan pemberontakan. Setiap sekolah, baik pesantren, swasta, ataupun negri memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
------------------------------------------
Apapun hasil keputusan nanti, mintalah pada allah yang terbaik. Karena Dialah yang menciptakan kita, dan mengetahui seluk-beluk kebutuhan kita. Berusahalah dulu mencari sekolah yang terbaik, mau melalui musyawarah ataupun survey ke sekolah yang akan dituju. Setelah itu bertawakallah. Insyaallah dapat sekolah yang terbaik.